Puasa dalam Perspektif Ahli Tasawuf | Isbroad - Memberi Wawasan Memajukan Peradaban

Puasa dalam Perspektif Ahli Tasawuf

Dok CNN Indonesia

 


Bulan ini menjadi bulan istimewa bagi kita semua karena di bulan ini kita bertemu dan berjumpa kembali dengan satu ibadah yang suasananya begitu syahdu dan penuh rindu, yaitu puasa. Puasa menjadi ibadah yang dinantikan, karena di dalamnya banyak kebaikan dan keberkahan yang dapat kita lihat dan rasakan sendiri.

Sebagai umat Islam, kita jangan sampai lupa akan esensi dan substansi dari puasa itu sendiri. Terutama saat ini kita memasuki pekan ke-2 di bulan Ramadan, sudah sepatutnya dan selayaknya kita maksimalkan ramadan kali ini untuk bersungguh-sungguh menjadi orang yang berpuasa.

Berbicara mengenai puasa, ada hal yang unik dari kaum tasawuf (sufi) dan filsafat (filsuf) dalam memandang ibadah puasa. Keduanya memiliki pandangan yang tajam dan menghujam bagi akal dan hati kita.

Dalam salah satu hadis Nabi dikatakan, “Banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apapun dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus”.

Berpijak dari hadis tersebut, kaum sufi tidak hanya memandang puasa sebagai ibadah lahiriyah saja, tapi juga puasa sebagai ibadah ruhaniyah.

Puasa dalam dimensi Tasawuf

Imam al-Ghazali misalnya, menyebutkan dalam kitabnya Ihya Ulumuddin bahwa puasa mempunyai tiga tingkatan: puasa umum (biasa), puasa khusus (special), dan puasa khususil khusus (isitimewa).

Pertama, puasa umum (dimensi eksoteris), ialah puasa yang sekadar menahan diri dari nafsu lapar, haus, dan syahwat kemaluan.

Kedua,  puasa khusus (dimensi semi-esoteris), adalah puasa yang tidak hanya menahan diri dari hal-hal yang disebutkan di atas, tetapi juga menahan seluruh panca indera dan anggota tubuh lainnya dari melakukan perbuatan dosa dan tercela atau dikenal dengan istilah shoum al-jawarih.

Ketiga, puasa khususil khusus (dimensi esoteris), adalah puasa tingkatan tertinggi yang praktiknya ialah menahan diri dari hal-hal yang hina, pikiran duniawi, serta menahan diri dari mengingat selain Allah Swt, puasanya dianggap batal bila hati dan pikirannya berpaling dari mengingat Allah Swt.

Lebih lanjut, al-Ghazali mengemukakan bahwa puasa adalah ibadah yang istimewa, sebab puasa ibarat kendaraan yang bisa menghantarkan seorang hamba kepada makrifat billah (mengenal tuhannya).

Dalam kitab Jawahirur at-Tasawuf misalnya, lapar itu diibaratkan sebagai cahaya, kenyang ibarat api, dan syahwat ibarat kayu bakar yang siap tersulut oleh kobaran dan panasnya api.

Orang yang sedang berpuasa akan lebih mudah menerima bisikan (hidayah) lembut dalam dirinya. Sehingga, hatinya akan jauh dari kegelapan dan akan bersinar oleh cahaya Tuhan yang begitu terang benderang.

Hal itulah yang bisa menghantarkan dia sadar kepada Allah SWT. Dalam kitab ini, kita bisa menyimpulkan bahwa ibadah puasa sebenarnya akan menambah cahaya dalam diri kita yang mulai redup akibat dosa dan kesalahan kita.

Fungsi puasa yaitu pengendali diri atau pengontrol diri manusia dari syahwat lahiriyah dan batiniyahnya. Serta sebagai pelindung dari bisikan setan (karena puasa dapat mempersempit sel pori-pori manusia (dimana syetan biasa masuk dari pori-pori tersebut).

Rasululloh SAW juga bersabda, “Wahai pemuda! Barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah bisa lebih menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menekan syahwat” (HR. Bukhari).

Itulah salah satu bukti bahwa puasa adalah senjata yang ampuh untuk menahan gejolak nafsu/syahwat menurut perspektif Rasulullah.


Alif Safikri

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© all rights reserved
made with by templateszoo